Kartosoewirjo Muda Jurnalis Fadjar Asia
Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang
mulai dipergunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis
media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas.
Dalam pembicaraan sehari-hari,
istilah ini sering disingkat menjadi media. Istilah “pers”
berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara
harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara
tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Awal abad 20 tahun, gerbang
dibukanya abad pencerahan. Jaman pergerakan, ditandai dengan hadirnya koran,
munculnya puluhan jurnalis muda. Muncul pula sebuah pola baru dalam
gerakan, organisasi. Dunia penerbitan –yang rata-rata dimiliki oleh orang
Tionghoa– pun mencapai titik terang, ikut pula berperan mendorong proses
kemajuan intelektual kaum bumi putra. Kaum jurnalis menjelma sekaligus sebagai
aktivis-aktivis dan pimpinan pergerakan.
Berkat politik etis, Pemerintah
Hindia Belanda memperbolehkan pribumi menerbitkan dagblad (suratkabar)
berbahasa melayu. Ada yang hanya cetak stensilan, ada pula yang mampu
terbit dengan kertas koran kualitas seadanya. Kebanyakan memang hanya seumur
jagung. Satu dagblad mati, dagblad lain lahir.
Medan Prijaji adalah surat kabar pertama yang terbit dan dikelola
oleh orang Indonesia. Surat kabar berbahasa Indonesia dengan bahasan politik
ini terbit pada Januari 1907. Pelopornya adalah Raden Mas
Tirtoehadisoerjo. Kehadiran Medan Prijaji menjadi penggerak
terbitnya surat kabar lain yang dipelopori tokoh-tokoh perjuangan: Oetoesan
Hindia oleh Hadji Oemar Said Cokroaminoto (tokoh Islam); Halilintar dan Nyala oleh
Samaun (tokoh kiri), Guntur Bergerak dan Hindia
Bergerak oleh Ki Hajar Dewantara (tokoh nasionalis); Benih
Merdeka dan Sinar Merdeka oleh Parada Harahap
(Wartawan senior yang dijuluki the King of Java Press); Suara
Rakyat Indonesia, Sinar Merdeka, dan Sinar
Indonesia oleh Soekarno (tokoh demokrat yang menjadi presiden pertama
Indonesia), dan masih banyak lagi surat kabar lainnya, terbit dan tersebar di
pelbagai wilayah.
Kartosoewirjo dan Fadjar Asia
Fadjar Asia mulai terbit pada Selasa 7 November 1927 Masehi bertepatan
dengan 12 Jumadil Awwal 1346 Hijriyah. Fadjar Asia merupakan kelanjutan
dari surat kabar Bendera Islam yang terbit di Yogyakarta pada tahun 1924-1927.
Bendera Islam dikelola oleh petinggi-petinggi Syarikat Islam seperti Tjokroaminoto,
Agus Salim, dan Sjahbuddin Latif. Sebelum Bendera Islam, Sarekat Islam
memiliki Oetoesan Hindia (1913- 1923) yang mempunyai pengaruh luas terhadap
surat kabar yang terbit di daerah- daerah.
Tidak didapat keterangan jumlah
(oplah) Fadjar Asia setiap kali terbit. Akan tetapi dari salah satu edisi dapat
diketahui bahwa suratkabar ini mempunyai oplah yang cukup besar dan
sirkulasinya tidak hanya di Indonesia tetapi juga menjangkau hingga manca
negara, seperti London, Den hag, Moscow, Mesir, India, Malaka, dan China.
Luasnya sirkulasi media ini setidaknya dapat juga dicermati dari banyaknya
koresponden dan tulisan-tulisan yang diterima redaksi dari berbagai wilayah
baik dari dalam maupun luar Hindia Belanda.
Media ini dicetak dan diterbitkan
oleh Drukkerijk Uitgevers en handel Maatschappij “Fadjar Asia” . Pada
mulanya alamat redaksi di Pasar Senen Nomor 125 Weltevreden dengan nomor
telepon 1825 kemudian dipindahkan ke Sluisbrugstraat Nomor 31C juga di
Weltevreden dan nomor teleponnya tetap. Fadjar Asia menjadi pilihan
redaktur untuk tetap mempertahankan semangat dan misi Bendera Islam yakni
suratkabar yang berdasarkan politik ke-Islaman. Semangat ini selalu
dicantumkan dalam setiap penerbitan Fadjar Asia.
Kelahiran Fadjar Asia di tahun 1927
inilah menjadi awal karir dan perjalanan S.M. Kartosoewirjo dalam bidang
jurnalis pergerakan. Sejak “menyatakan” bergabung ke Partai Syarekat Islam
Hindia Timur (PSIHT) atas ajakan H.O.S Tjokroaminoto, karir Kartosoewirjo
dengan cepat melejit bersanding dengan tokoh-tokoh PSIHT sekaliber Agus Salim,
Dr. Soekiman dan lainnya. Bulan September 1927, S.M. Kartosoewirjo menjadi
sekretaris pribadi Tjokroaminoto dan di bulan Desember 1927 dalam kongres PSIHT
di Pekalongan, Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. (Pada
Oktober 1928 Kartosoewirjo menjadi peserta kongres pemuda Indonesia di Batavia.
Pada kongres tersebut Kartoosoewirjo terlibat debat sengit dengan ketua kongres
Soegondo tentang hakikat pendidikan masa depan).
Dalam usia 22 tahun (1927), Soekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo (lahir 7 Februari 1905 di Cepu) menjadi
wartawan surat kabar Fadjar Asia mulai dari bawah sebagai korektor dan
reporter. Dalam waktu 16 bulan kemudian ia diangkat sebagai wakil pemimpin
redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan ketika itu. Dalam fase
kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi
gagasan-gagasannya. Fadjar Asia wadah paling tepat untuk itu. Dalam Fadjar Asia
itulah tulisan-tulisannya ‘mengalir’ bak air terjun. Pada tahun 1929,
dalam usaianya ang relatif muda, sekitar 24 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi
redaktur harian Fadjar Asia (menggantikan HOS Tjokroaminoto yang
jatuh sakit).
Gagasan Intelektual Kartosoewirjo
Sampai saat ini biografi
Kartosoewirjo tetap merupakan ‘misteri’ sejarah. Siapa sesungguhnya
Kartosoewirjo? Bagaimana tokoh ini menapaki jalan kehidupan intelektual,
spiritual dan politiknya ketika hidup? Mengapa akhir kehidupan tokoh ini
tragis, mati ditembak seperti ‘anak-anak revolusi’ Indonesia lainnya? Selama
Orde Baru biografi Kartosoewirjo, seperti juga biografi Mohammad Natsir,
Syafruddin Prawiranegara, Isa Anshary, Tan Malaka, Syahrir, Bung Karno dan
Jenderal Sudirman seakan dihalangi dinding-dinding tebal wacana sejarah formal.
Ada semacam kesengajaan untuk menyembunyikan peran-peran historis mereka dengan
tujuan politis tertentu.
Ini berakibat buruk. Angkatan muda
Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami pahit getirnya
dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama, kurang
atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa mereka
sendiri. Mereka tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’ peran historis
dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah itu. Bila demikian, bagaimana mungkin bangsa
ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan mereka di masa lampau? Bagaimana
mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa pahlawannya bila mereka tak dikenal?
Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai jasa-jasa pahlawannya.”
Ketokohan Kartosoewirjo juga
diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter tokoh ini
dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita adalah
Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa
yang digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang
anti penindasan kolonial, berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan
nasional dan pejuang keadilan. Lukisan ‘distortif’ tentang Kartosoewirjo
itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran P4 (Pedoman,
Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU.
Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI.
Sisi-sisi positif kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan
dalam buku-buku sejarah formal Orde Baru.
Dekonstruksi sejarah dan biografi
Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik diantaranya, bagaimana
sesungguhnya peran Kartosoewirjo masa muda di zaman Kolonial, pergerakan nasional
sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis keberadaannya dalam perjuangan
melawan penjajahan?
Mengkaji dan memahami jejak
pemikiran Kartosoewirjo menjadi penting dalam rangka dekonstruksi sejarah dan
biografi Kartosoewirjo. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan : “Akhir
dari pemikiran adalah pergerakan dan akhir dari pergerakan adalah pemikiran”,
Pergerakan dan pemikiran Kartosoewirjo adalah satu paket yang tidak bisa
dipisahkan dari pemikiran dan pergerakan Partai Syarekat Islam Hindia Timur
dengan corong pergerakannya Fadjar Asia atau Bendera Islam dan tentunya tidak
bisa dipisahkan dengan pemikiran dan pergerakan dari H.O.S Tjokroaminoto
sebagai ketua partai, guru politik dan bapak ideologisnya. Dalam
kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang
isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun
penjajah Belanda.
Kartosoewirjo, meminjam Herbert
Marcuse, bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man) yang melulu
bergulat dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik
yang bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier semasa
hidup membuktikan hal itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan politikus (PSII
dan Masyumi, era 1920-an – pertengahan 1940-an), wartawan, dan imam gerilyawan.
Selanjutnya sejarah menunjukan bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh gerilyawan
legendaris.
Gagasan-gagasan intelektual radikal
Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia. Ia
menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan
pemerintahan Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil dan
buruh-buruh juga dikemukakan. Ketika para petani kecil di Lampung diusir dari
tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’, Kartosoewirjo menulis: “Orang-orang
Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet belaka, ialah monyet yang
diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya.” Dikecamnya Volksraad
yang tidak melindungi dan berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong
belaka.’ Kepada kaum buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan
berkeluh kesah, jangan meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut
mati jangan hidup! Kalau hendak hidup janganlah takut mati!” Dalam
tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa
diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab kemerdekaan tanah air itu tidaklah
sedikit harganya, yang oleh karenanya harganya, tentu bakal memakan korban luar
biasa.”
Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno
yang menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih keras lagi. Mengetahui Parada
Harahap –ketua redaksi Bintang Timoer– menghina Islam, Kartosoewirjo menulis: “Si
Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka kaum Nasionalis (PNI).
Menjilat pantat dan mencari muka, karena ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi
Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada
bangsa dan tanah air -mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh
jadi ia menjadi tidak sadar kalau tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo
juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa Indonesia’, dan ‘Binatang
Tikus dari Krekot.’
Gaya bertutur tulisan Kartosoewirjo
yang sistematis dalam mengurai masalah dan memberi solusi pada setiap
permasalahan menunjukan kadar intelektual yang mumpuni. Kritik tajam dengan
kata-kata yang jelas dan tegas menunjukan sikap Kartosoewirjo muda yang teguh
pada prinsip yang dianutnya. Dalam tulisan di Fadjar Asia tentang “Soenan
dan Kebangsaan“, Kartosoewirjo menulis :
“ Dalam Pasar Malam itoe adalah
soeatoe kedjadian jang dapat sangat membikin ketjiwa teroetama bagi kaoem
kebangsaan jang mendjadi wakil pers dalam keramaian itoe. Di sitoe tertampaklah
beberapa orang journalist, baik bangsa kita maoepoen bangsa koelit poetih (dan
boleh djadi djoega bangsa Tionghoa). Jang mempoenjai koelit poetih boleh
doedoek di atas koersi dan dilajani sebagaimana biasa, diberi minoem sekedarnja
d.l.l., tetapi journalist bangsa kita “dipersilahkan” doedoek “sebo” dan
perkara minoeman dan l.l.s. ta’ oesah perbintjangkan di sini, mereka itoe boleh
menelan loedahnja sampai kering kerongkongannja. Jang satoe dipersilahkan
doedoek di atas, dilajani seperloenja tetapi sebaliknja jang lainnja disoeroeh
doedoek “sebo” di bawah. Doea-doeanja sama-sama deradjat, harga dan
pekerdjaannja dalam pergaoelan hidoep antara manoesia bersama.
Tentoe sadja dengan kenjataan jang
demikian itoe banjak orang dari kaoem journalist, teristimewa kaoem journalist
jang berperasaan dan bersemangat Kebangsaan jang laloe dan masing2
menoendjoekkan ke-tidak setoedjoean-nja akan kedjadian jang sangat pintjang
itoe adanja.
Roepanja perbedaan ini tidak hanja
karena perbedaan boeloe atau koelit sadja tetapi karena beberapa soe’al jang
berhoeboengan dengan harga dan tempatnja Soenan dalam doenia ini terhadap fihak
jang mengoeasai atasnja.
Memang sejak awal abad ke-20,
Belanda mulai ‘menjinakkan’ pers berbahasa Melayu di Hindia-Belanda dengan cara
baru. Pemerintah Hindia-Belanda menjadi ‘penuh perhatian’ kepada pers. ”Semakin
pers Melayu berani menyatakan fikirannya, semakin ia diindahkan oleh
pemerintah,” tulis Tirto Adhi Soerjo yang dimuat di Medan Prijaji tahun
1909.
Perhatian itu, menurut Tirto yang
tulisannya dikutip ulang di buku Sang Pemula yang ditulis
Pramoedya Ananta Toer (Hasta Mitra, 1985), berupa diberikannya diskon 25 persen
bagi awak pers ketika naik kereta api kompeni. Potongan 25 persen, biasanya
hanya diberilakukan untuk penumpang rombongan, seperti yang diberikan kepada
rombongan pemain sepak bola. Pemerintahan Hindia Belanda sepertinya memberikan
hak-hak khusus pada kaum jurnalis.
Tetapi Kartosoewirjo dengan jeli
melihat perbedaan perlakuan antara jurnalis bangsa kulit putih, bangsa Tionghoa
dengan jurnalis bangsa sendiri. “ Jang mempoenjai koelit poetih
boleh doedoek di atas koersi dan dilajani sebagaimana biasa, diberi minoem
sekedarnja d.l.l., tetapi journalist bangsa kita “dipersilahkan” doedoek “sebo”
dan perkara minoeman dan l.l.s. ta’ oesah perbintjangkan di sini, mereka itoe
boleh menelan loedahnja sampai kering kerongkongannja”. Dari kenyataan yang
seolah sederhana, Kartosoewirjo justru menarik soal ini pada persoalan
kebangsaan dan keislamam. Kartosoewirjo selanjutnya menulis :
“Rasa kebangsaan ta’ ada ke-Islaman
poen demikian poela halnja, kendatipoen ia (Soenan) menoeroet titelnja mendjadi
kepala Agama Islam, Agama Kebangsaan kita ditanah toempah darah kita ini.
Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lainnja diberi hak jang lebih dari batas,
terlebih-lebih kalau kita mengingat jang kedoea fihak itoe (sama2 journalistnja
mempoenjai deradjat dan pendjabatan jang bersamaan.
Kita tahoe, jang nistjajalah boekan
maksoed Soenan boeat menerima tetamoenja dengan djalan jang begitoe tidak
menjenangkan bagi salah satoe fihak, fihak bangsanja sendiri. Dan kita mengerti
djoega, apakah gerangan jang mendjadikan sebab-sebabnja, maka ke’adaan jang
begitoe itoe bisa diperlihatkan di medan oemoem.
Jang soedah
terang dan njata, ialah:
Boekan karena Tjinta Bangsa dan Tanah Air.
Boekan karena Tjinta kepada Bangsa dan Ra’jatnja.
Boekan karena tjinta kepada Ra’jat dan bangsa lainnja.
Melainkan karena ….keperloean diri sendiri belaka, keperloean diri
jang bersangkoetan dengan ke-Soenanannja.
Boekan karena Tjinta Bangsa dan Tanah Air.
Boekan karena Tjinta kepada Bangsa dan Ra’jatnja.
Boekan karena tjinta kepada Ra’jat dan bangsa lainnja.
Melainkan karena ….keperloean diri sendiri belaka, keperloean diri
jang bersangkoetan dengan ke-Soenanannja.
Djadi perboeatan jang demikian itoe
boekanlah soeatoe perboeatan jang dilakoekan karena Allah (lillahi Ta’ala),
tetapi karena …pembatja boleh menerka sendiri2, apakah jang kita maksoedkan
itoe.
Moedah2an keadaan jang amat gandjil,
jang bertentangan dengan tiap2 faham ke-manoesiaan keoetamaan dan ke’adilan dan
berlawanan dengan “nationale Belangen” itoe hendaknja akan lenjap dari
sendirinja, menoeroet peredaran zaman dengan selekas2nja. Demikianlah”
Analisanya yang tajam terlihat juga
dalam tulisan tentang R.A. Kartini yang berjudul “Riwajat Almarhoem Raden
Adjeng Kartini” 23 April 1929. Kartosoewirjo menulis :
“Hari 21 April 1929 kemarin isi tjoekoeplah
50 tahoen, terhitoeng dari lahirnja, dan 25 tahoen kira2 terhitoeng dari
mangkat beliau sampai sekarang. Dari itoe maka di mana2 tempat di seloeroeh
Indonesia diadakan pertemoean oleh perkoempoelan2 kaoem isteri oentoek
memperajakan hari jang penting ini, agar soepaja kita semoea mendapat ingat
lagi, bahwa jang bermoela-moela membantingkan diri oentoek keperloean kaoem
isteri ditanah ini jaitoe Almarhoem R.A. Kartini, soeatoe nama jang telah
masjhoer di sentaro doenia.”
Kartosoewirjo selanjutnya menulis :
“Siapakah Kartini itoe, barangkali
ada baiknja dan goenanja djoega, djikalau kita oeraikan dengan singkat
riwajatnja beliau almarhoem itoe.
Marilah kita moelai dari datangnja
toean Mr. Abendanon ke Djepara. T. Abendanon di waktoe itoe sedang memegang
djabatan jang paling tinggi Departement Peladjaran. Sebagai Directeur Onderwijs
ia sama-sama dengan njonjanja mengoendjoengi Kaboe-paten Djepara. Dan di
sinilah bergandengannja doea hati, doea kemaoean, jang kelak selaloe bisa
mengerti dan setoedjoe-menjetoedjoei satoe dengan lainnja, sampai boleh
diperkatakan, seperti pepatah Djawa membilang: Toemboe mendapat (oleh Red.
F.A.) toetoep. Apakah maksoed Toean Abendanon itoe? Ta’ lain hanja dengan
maksoed hendak beremboek dengan Regent dan poetri-poetrinja, bagaimana tjaranja
akan mendjoen-djoeng deradjatnja kaoem isteri itoe. Sesoedah pertemoean ini
kedjadian dengan berhatsil, maka dengan senang hati Kartini melandjoetkan
kemaoeannja bertoekar-fikiran dengan soerat. Tidak hanja dengan T. Abendanon
sadja, akan tetapi djoega dengan lain-lainnja, jang dipandangnja akan bisa
membawa boeah jang sehat.”
Apa yang hendak disampaikan
Kartosoewirjo dari tulisan tentang peringatan R.A. Kartini?, Kartosoewirjo
menulis :
“Kalau diperkatakan, bahwa tjita2
jang dikandoeng oleh R.A. Kartini itoe adalah soeatoe angan2 jang sangat
mendekati tjita2 Islam dalam perihal berlaki-isteri. maka kebanjakan masih
djoega disangkal, karena kebanjakan daripada mereka itoe tidak mengetahoei
betoel2 akan agamanja. tidak tahoe akan hoekoem-berhoekoem jang termaktoeb
dalam Qoer’an Soetji.
Memang mereka itoe dalam keroegian,
dalam kegelapan, boekan karena salahnja sendiri –moela2nja– tetapi salahnja
pendidikan jang diterimanja. Kemoedian mereka itoe laloe menggoedel bingoeng
dan tidak soeka lagi menjelidiki kebenaran jang sesoenggoeh2nja, katanja,
lantaran mereka itoe soedah ,,wetenschapplijk” atau ,,kewetenschapplijk-en.”
Apakah Islam tidak dapat diselidiki
dengan ,,wetenschap”? Itoelah mereka tidak mengetahoeinja, biar pengetahoeannja
sampai ,,soendoel langit” sekalipoen. Kalau seandainja tjita-tjita R.A. Kartini
itoe dianggap sebagai angan-angan Islam –jang memang boekan– nistjajalah tidak
akan disoekai, sebab ada perkataan ,,Islam”.
Pendek kata soedahlah terang bahwa
kebanjakan dari pada pemoeda-pemoeda sekarang ini jang soedah amat ,,membarat”,
telah loepa akan agamanja dan toendoek kepada barang jang tidak kekal (S.M.K.).
Tentang kemasjhoeran poen agama Islam tidak akan koerang dari pada itoe,
(S.M.K.) Memerangi ‘adat-isteri ‘adat jang hendaknja akan menghalang-halangi
kemadjoean tanah air, bangsa dan Ra’iat kita, teroetama bagi kaoem isteri,
memang haroes dilinjapkan dari doenia ini, tetapi apakah jang mendjadi oekoeran
,,kemadjoean” itoe? Baratlah atau lain-lainnja? Boleh djadi, tetapi agama kita
roepanja tidak. Barat memoesoehi ‘adat! Boekan sjara’ Islam berhadapan
dengan hoekoem ‘adat, jang amat merendahkan deradjat manoesia!!!
Kartosoewirjo tidak seperti sosok
Soekarno atau Hatta, yang lebih banyak bergelut dengan masalah-masalah teori
dan pemikiran. Ia adalah seorang konseptor, tapi juga seorang praktisi. Dia tak
hanya menggali pemikiran, tapi juga mengangkat senjata pergi berperang. Satu
paduan yang jarang ditemui dalam diri pejuang kemerdekaan. Kartosoewirjo adalah
sosok dengan kompleksitas yang tinggi. Masa muda Kartosoewirjo tidak
dihabiskan dengan hidup ongkang-ongkang kaki, hidup bergaya Holand tetapi hidup
memeras pikiran untuk memberikan kesadaran bagi bangsa Indonesia akan
penjajahan bangsa koelit poetih dan memotivasi bangsa Indonesia untuk
memperjuangkan kemerdekaannya.
“Selama hidoep dan berdjangkitnja
kedhaliman selama di doenia ini beloem ada ke’adilan, selama….., maka selama
itoe senantiasa terdjadilah pertaroengan antara kaoem jang merasa koeat dan
koeasa dan fihak jang “rendah” dan “lemah”, jang diperboeat sewenang-wenang dan
sekehendak hati kaoem pertoeanan itoe. Inilah poela jang menjebabkan
pertjederaan, perlawanan dan permoesoehan jang tidak akan dapat diberhentikan
dengan berondongnja meriam dan sendjata api. ~S.M. Kartosoewirjo~
Semoga generasi muda kini bisa
banyak belajar tentang semangat, pemahaman dan pemikiran para pejuang dimasa
lalu………… dan cukup bagiku untuk belajar tentang KONSISTENSI…. satunya pikiran,
sikap dan perbuatan … satunya pemikiran dan pergerakan …… karena sejarah
bukan kebetulan tapi kesengajaan.
Referensi
:
1.
Menimbang Ketokohan S.M.
Kartosoewirjo dan Pemikiran Politiknya, Ahmad Suhelmi, MA.
2.
Arsip Surat Kabar Fadjar Asia
3.
Pers
Bumiputera Masa Pergerakan Nasional 1927-1930 Kasus Surat Kabar Fadjar Asia, Hj. Umi Rusmiani Humairah, M.Pd (Dosen Jur. SKI IAIN
Imam Bonjol), PKBI (Pusat Kajian Budaya Islam)
0 komentar:
Posting Komentar